Bagaimana Doktrin Tritunggal Berkembang?

13 April 2010

SAMPAI di sini saudara mungkin bertanya, ’Jika Tritunggal bukan ajaran Alkitab, bagaimana itu menjadi doktrin Susunan Kristen?’ Banyak orang berpikir bahwa ini dirumuskan pada Konsili di Nicea pada tahun 325 M.

Tetapi, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Konsili Nicea memang meneguhkan bahwa Kristus adalah dari zat yang sama seperti Allah, dan hal ini menjadi fondasi untuk teologi Tritunggal di kemudian hari. Tetapi konsili ini tidak menyusun Tritunggal, karena dalam konsili itu sama sekali tidak disebutkan mengenai roh kudus sebagai pribadi ketiga dari suatu Keilahian tiga serangkai.

Peranan Konstantin di Nicea
SELAMA bertahun-tahun, ada banyak tentangan atas dasar Alkitab terhadap gagasan yang makin berkembang bahwa Yesus adalah Allah. Dalam upaya untuk mengakhiri pertikaian itu, penguasa Roma Konstantin memanggil semua uskup ke Nicea. Yang hadir kira-kira 300, sebagian kecil dari jumlah keseluruhan.

Konstantin bukan seorang Kristen. Menurut dugaan, ia belakangan ditobatkan, tetapi baru dibaptis pada waktu sedang terbaring sekarat. Mengenai dirinya, Henry Chadwick mengatakan dalam The Early Church, ”Konstantin, seperti bapanya, menyembah Matahari Yang Tidak Tertaklukkan; . . . pertobatannya hendaknya tidak ditafsirkan sebagai pengalaman kerelaan yang datang dari batin . . . Ini adalah masalah militer. Pengertiannya mengenai doktrin Kristen tidak pernah jelas sekali, tetapi ia yakin bahwa kemenangan dalam pertempuran bergantung pada karunia dari Allah orang-orang Kristen.”

Peranan apa yang dimainkan oleh kaisar yang tidak dibaptis ini di Konsili Nicea? Encyclopædia Britannica menceritakan, ”Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan . . . rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, ’dari satu zat dengan Bapa’ . . . Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.”

Karena itu, peran Konstantin penting sekali. Setelah dua bulan debat agama yang sengit, politikus kafir ini campur tangan dan mengambil keputusan demi keuntungan mereka yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah. Tetapi mengapa? Pasti bukan karena keyakinan apapun dari Alkitab. ”Konstantin pada dasarnya tidak mengerti apa-apa tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam teologi Yunani,” kata A Short History of Christian Doctrine. Yang ia tahu adalah bahwa perpecahan agama merupakan ancaman bagi kekaisarannya, dan ia ingin memperkuat wilayah kekuasaannya.

Namun, tidak seorang uskup pun di Nicea mengusulkan suatu Tritunggal. Mereka hanya memutuskan sifat dari Yesus tetapi bukan peranan roh kudus. Jika suatu Tritunggal merupakan kebenaran Alkitab yang jelas, tidakkah mereka seharusnya mengusulkannya pada waktu itu?

Perkembangan Selanjutnya
SETELAH Konsili Nicea, perdebatan mengenai pokok ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Mereka yang percaya bahwa Yesus tidak setara dengan Allah bahkan mendapat angin lagi untuk beberapa waktu. Namun belakangan, Kaisar Theodosius mengambil keputusan menentang mereka. Ia meneguhkan kredo dari Konsili Nicea sebagai standar untuk daerahnya dan mengadakan Konsili Konstantinopel pada tahun 381 M. untuk menjelaskan rumus tersebut.

Konsili tersebut menyetujui untuk menaruh roh kudus pada tingkat yang sama dengan Allah dan Kristus. Untuk pertama kali, Tritunggal Susunan Kristen mulai terbentuk dengan jelas.

Tetapi, bahkan setelah Konsili Konstantinopel, Tritunggal tidak menjadi kredo yang diterima secara luas. Banyak orang menentangnya dan karena itu mengalami penindasan yang kejam. Baru pada abad-abad belakangan Tritunggal dirumuskan dalam kredo-kredo yang tetap. The Encyclopedia Americana mengatakan, ”Perkembangan penuh dari ajaran Tritunggal terjadi di Barat, pada pengajaran dari Abad Pertengahan, ketika suatu penjelasan dari segi filsafat dan psikologi disetujui.”

Kredo Athanasia
TRITUNGGAL didefinisikan lebih lengkap dalam Kredo Athanasia. Athanasius adalah seorang pendeta yang mendukung Konstantin di Nicea. Kredo yang memakai namanya berbunyi, ”Kami menyembah satu Allah dalam Tritunggal . . . sang Bapa adalah Allah, sang Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah; namun mereka bukan tiga allah, tetapi satu Allah.”

Tetapi, para sarjana yang mengetahui benar masalahnya setuju bahwa Athanasius tidak menyusun kredo ini. The New Encyclopædia Britannica mengomentari, ”Kredo itu baru dikenal oleh Gereja Timur pada abad ke-12. Sejak abad ke-17, para sarjana pada umumnya setuju bahwa Kredo Athanasia tidak ditulis oleh Athanasius (meninggal tahun 373) tetapi mungkin disusun di Perancis Selatan pada abad ke-5. . . . Pengaruh kredo itu tampaknya terutama ada di Perancis Selatan dan Spanyol pada abad ke-6 dan ke-7. Ini digunakan dalam liturgi gereja di Jerman pada abad ke-9 dan kira-kira tidak lama setelah itu di Roma.”

Jadi dibutuhkan waktu berabad-abad sejak zaman Kristus bagi Tritunggal untuk dapat diterima secara luas dalam Susunan Kristen. Dan dalam semua hal tersebut, apa yang membimbing keputusan-keputusannya? Apakah Firman Allah, atau apakah pertimbangan para pendeta dan politik? Dalam Origin and Evolution of Religion, E. W. Hopkins menjawab, ”Definisi ortodoks yang terakhir dari tritunggal sebagian besar adalah masalah politik gereja.”

Kemurtadan Dinubuatkan
SEJARAH yang tidak baik dari Tritunggal ini cocok dengan apa yang Yesus dan rasul-rasulnya nubuatkan akan terjadi setelah zaman mereka. Mereka mengatakan bahwa akan ada kemurtadan, penyelewengan, penyimpangan dari ibadat sejati sampai kembalinya Kristus, yaitu saat ibadat sejati akan dipulihkan sebelum hari manakala Allah membinasakan sistem perkara-perkara ini tiba.

Mengenai ”Hari” itu, rasul Paulus mengatakan, ”Sebelum Hari itu haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka.” (2 Tesalonika 2:3, 7) Belakangan, ia menubuatkan, ”Sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka.” (Kisah 20:29, 30) Murid-murid Yesus yang lain juga menulis mengenai kemurtadan ini dengan golongan pendetanya yang ”durhaka.”—Lihat, misalnya, 2 Petrus 2:1; 1 Yohanes 4:1-3; Yudas 3, 4.

Paulus juga menulis, ”Akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.”—2 Timotius 4:3, 4.

Yesus sendiri menjelaskan siapa yang ada di balik kemurtadan dari ibadat sejati. Ia mengatakan bahwa ia telah menabur benih yang baik tetapi musuhnya, Setan, akan menabur lalang di ladang. Maka ketika muncul tunas pertama dari gandum, muncul juga lalang. Jadi, penyimpangan dari Kekristenan sejati harus diharapkan terjadi sampai tiba musim menuai, pada waktu Kristus akan membereskan perkara-perkara. (Matius 13:24-43)

The Encyclopedia Americana mengomentari, ”Ajaran Tritunggal dari abad ke-4 tidak dengan saksama mencerminkan ajaran Kristen yang mula-mula mengenai sifat Allah; sebaliknya, ini adalah penyimpangan dari ajaran tersebut.” Maka, dari mana asalnya penyimpangan ini?—1 Timotius 1:6.

Apa yang Mempengaruhi Hal Itu
DI SELURUH dunia zaman purba, di Babel dulu, ibadat kepada dewa-dewa kafir yang dikelompokkan dalam tiga serangkai, sangat umum. Pengaruh itu juga umum di Mesir, Yunani, dan Roma pada abad-abad sebelum, selama, dan setelah Kristus. Dan setelah rasul-rasul meninggal, kepercayaan kafir tersebut menyusup ke dalam Kekristenan.
Sejarawan Will Durant mengatakan, ”Kekristenan tidak memusnahkan kekafiran; ia menerimanya. . . . Dari Mesir datang gagasan mengenai trinitas ilahi.” Dan dalam buku Egyptian Religion, Siegfried Morenz berkata, ”Tritunggal merupakan hal yang terutama menyita perhatian para teolog Mesir . . . Tiga allah digabung dan diperlakukan seperti satu pribadi tunggal, disapa dalam bentuk tunggal. Dengan cara ini kekuatan rohani dari agama Mesir memperlihatkan hubungan yang langsung dengan teologi Kristen.”

Jadi, di Aleksandria, Mesir, tokoh-tokoh gereja dari akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat, seperti Athanasius, memperlihatkan pengaruh ini pada waktu mereka merumuskan ide-ide yang mengarah kepada Tritunggal. Pengaruh mereka sendiri meluas, sehingga Morenz menganggap ”teologi Aleksandria sebagai penghubung antara warisan agama Mesir dan Kekristenan.”

Dalam kata pengantar buku History of Christianity dari Edward Gibbon, kita membaca, ”Jika Kekafiran ditaklukkan oleh Kekristenan, halnya juga benar bahwa Kekristenan telah dirongrong oleh Kekafiran. Keilahian yang murni dari orang-orang Kristen yang mula-mula . . . diubah, oleh Gereja Roma, menjadi dogma trinitas yang tidak dapat dimengerti. Banyak dari kepercayaan kafir, yang diciptakan oleh orang-orang Mesir dan diidealkan oleh Plato, dipertahankan sebagai sesuatu yang patut dipercayai.”

A Dictionary of Religious Knowledge menyatakan bahwa Tritunggal ”adalah suatu penyelewengan yang dipinjam dari agama-agama kafir, dan dicangkokkan ke dalam iman Kristen”. Dan The Paganism in Our Christianity berkata, ”Asal usul [Tritunggal] seluruhnya kafir.”

Itu sebabnya, dalam Encyclopædia of Religion and Ethics, James Hastings menulis, ”Dalam agama di India, misalnya, kita temukan kelompok tiga serangkai Brahma, Syiwa, dan Wisnu; dan dalam agama Mesir kelompok tiga serangkai Osiris, Isis, dan Horus . . . Bukan hanya dalam agama-agama dalam sejarah, kita temukan Allah dianggap sebagai suatu Tritunggal. Kita khususnya dapat mengingat pandangan Neo-Platonik mengenai Realitas yang Paling Tinggi,” yang ”diwakili secara tiga serangkai.” Apa hubungan antara filsuf Yunani Plato dengan Tritunggal?

Platonisme
PLATO, menurut perkiraan, hidup dari tahun 428 sampai 347 sebelum Kristus. Meskipun ia tidak mengajarkan Tritunggal dalam bentuknya yang sekarang, filsafatnya membuka jalan untuk itu. Belakangan, gerakan filsafat yang mencakup kepercayaan kepada kelompok-kelompok tiga serangkai bermunculan, dan semua ini dipengaruhi oleh gagasan Plato mengenai Allah dan alam.

Nouveau Dictionnaire Universel (Kamus Universal Baru) bahasa Perancis mengatakan mengenai pengaruh dari Plato, ”Tritunggal menurut Plato, yang sebenarnya hanyalah penyusunan kembali dari tritunggal-tritunggal yang lebih tua dan berasal dari orang-orang zaman dulu, tampaknya merupakan tritunggal yang rasional dan filosofis dari sifat-sifat yang melahirkan ketiga hypostase (zat) atau pribadi ilahi yang diajarkan oleh gereja-gereja Kristen. . . . Konsep filsuf Yunani mengenai trinitas ilahi ini . . . dapat ditemukan dalam semua agama [kafir] kuno.”

The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge memperlihatkan pengaruh dari filsafat Yunani ini, ”Doktrin mengenai Logos dan Tritunggal menerima bentuknya dari Bapa-Bapa Yunani, yang . . . sangat dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, oleh filsafat Plato . . . Bahwa kesalahan dan kerusakan menyusup ke dalam Gereja dari sumber ini tidak dapat disangkal.”

The Church of the First Three Centuries mengatakan, ”Doktrin Tritunggal dibentuk secara bertahap dan baru belakangan terhitung; . . . ia berasal dari sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam Kitab-Kitab Suci Yahudi maupun Kristen; . . . ia tumbuh, dan dicangkokkan ke dalam Kekristenan, melalui tangan Bapa-Bapa pengikut Plato.”
Menjelang akhir abad ketiga M., ”Kekristenan” dan filsafat Plato yang baru, berpadu secara tidak terpisahkan. Sebagaimana dinyatakan Adolf Harnack dalam Outlines of the History of Dogma, doktrin gereja kemudian ”berakar dengan kuat di tanah Hellenisme [paham Yunani kafir]. Dengan demikian ini menjadi suatu misteri bagi bagian terbesar dari orang-orang Kristen.”

Gereja mengaku bahwa doktrin-doktrin barunya didasarkan atas Alkitab. Namun Harnack mengatakan, ”Dalam kenyataan di kalangannya sendiri [gereja] mengesahkan spekulasi Hellenik, pandangan dan kebiasaan takhyul dari ibadat kafir yang bersifat misteri.”

Dalam buku A Statement of Reasons, Andrews Norton menyatakan tentang Tritunggal, ”Kita dapat menelusuri sejarah doktrin ini dan menemukan sumbernya, bukan dalam wahyu Kristen, melainkan dalam filsafat Plato . . . Tritunggal bukan doktrin dari Kristus dan Rasul-Rasulnya, melainkan suatu fiksi dari sekolah para pengikut Plato.”
Jadi, pada abad keempat M., kemurtadan yang dinubuatkan oleh Yesus dan para rasul mulai berkembang penuh. Perkembangan dari Tritunggal hanya satu bukti dari ini. Gereja-gereja yang murtad juga mulai menganut gagasan kafir lain, seperti api neraka, kekekalan jiwa, dan penyembahan berhala. Secara rohani, Susunan Kristen telah memasuki abad-abad kegelapannya yang telah dinubuatkan, dikuasai oleh golongan pendeta ”manusia durhaka” yang terus bertambah besar.—2 Tesalonika 2:3, 7.

Mengapa Nabi-Nabi Allah Tidak Mengajarkannya?
MENGAPA, selama ribuan tahun, tidak seorang pun dari nabi-nabi Allah mengajarkan umat-Nya mengenai Tritunggal? Pada kesempatan terakhir, tidakkah Yesus akan menggunakan kecakapannya sebagai Guru Agung untuk menjelaskan Tritunggal kepada para pengikutnya? Apakah Allah akan mengilhami ratusan halaman dari Alkitab namun tidak menggunakan pengajaran ini untuk mengajarkan Tritunggal jika hal itu memang ”doktrin utama” dari iman?

Apakah orang-orang Kristen harus percaya bahwa berabad-abad setelah Kristus dan setelah mengilhami penulisan Alkitab, Allah akan mendukung perumusan suatu doktrin yang tidak dikenal oleh hamba-hamba-Nya selama ribuan tahun, doktrin yang merupakan ”misteri yang tidak dapat dimengerti” ”di luar jangkauan akal manusia”, doktrin yang diakui mempunyai latar belakang kafir dan ”sebagian besar adalah masalah politik gereja”?

Bukti dari sejarah sudah jelas: Ajaran Tritunggal adalah penyimpangan dari kebenaran, kemurtadan darinya.

Apa yang Membuat Kita Baik atau Jahat?

5 April 2010

Sejarah penuh dengan catatan tentang kebencian dan pertumpahan darah. Tetapi, dari puing-puing tragedi sering kali timbul tindakan kebaikan hati dan rela berkorban yang luar biasa. Mengapa ada orang yang menjadi pembunuh berdarah dingin dan ada yang menjadi humanis berhati mulia? Mengapa perangai seperti binatang terkadang muncul dalam diri manusia?

Ketidaksempurnaan dan Hati Nurani
Alkitab dengan terus terang menyatakan, “Sejak masa mudanya, pikiran manusia itu jahat.” (Kejadian 8:21, Bahasa Indonesia Masa Kini, BIMK) Karena itu, anak-anak cenderung bandel. (Amsal 22:15) Sejak lahir, kita semua condong berbuat salah. (Mazmur 51:5) Melakukan kebaikan menuntut upaya, ibarat mendayung melawan arus.

Namun, kita juga dikaruniai hati nurani. Kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan yang salah ini memengaruhi kebanyakan orang untuk bertindak dalam batas-batas perikemanusiaan. Karena itu, orang yang tidak mendapatkan pendidikan moral pun dapat dikenal karena kebaikan mereka. (Roma 2:14, 15) Namun, sebagaimana diperlihatkan di atas, kecenderungan kita untuk berbuat salah bisa menimbulkan konflik dalam diri kita. Apa lagi yang mungkin memengaruhi pergulatan antara yang baik dan yang jahat dalam diri kita?

Lingkungan yang Ternoda
Bunglon berubah warna agar serupa dengan lingkungannya. Begitu pula, orang yang berteman dengan penjahat lebih cenderung mengembangkan watak penjahat. Alkitab memperingatkan, “Jangan mengikuti orang banyak untuk tujuan yang jahat.” (Keluaran 23:2) Sebaliknya, dengan sering bergaul bersama orang yang jujur, adil dan bermoral, seseorang terbantu untuk berbuat baik.–Amsal 13:20.

Tetapi, kita tidak dapat menganggap diri kita bebas dari pengaruh jahat hanya karena kita tidak bergaul dengan orang yang melakukan perbuatan salah. Karena ketidaksempurnaan kita, pikiran jahat dapat mengintai di relung pikiran kita, menunggu kesempatan untuk menampakkan diri. (Kejadian 4:7) Selain itu, hal jahat dapat memasuki rumah kita melalui media. Video game, acara televisi, dan film sering mengagung-agungkan kekerasan dan pembalasan dendam. Bahkan, terus-menerus mengikuti berita dunia atau lokal dapat menumpulkan kepekaan kita terhadap kejamnya penderitaan dan kesengsaraan manusia.

Apa akar penyebab lingkungan yang ternoda ini? Alkitab menjawab, “Seluruh dunia ini di bawah kekuasaan si Jahat.” (1 Yohanes 5:19, BIMK) “Si Jahat” ini, Setan si Iblis, dibeberkan dalam Alkitab sebagai pendusta dan pembunuh manusia. (Yohanes 8:44) Ia menyebarkan kejahatan melalui pengaruh dari dunianya.

Mengingat semua faktor pembentuk sikap dan tindakan kita ini, ada yang mungkin berdalih bahwa mereka tidak dapat dipersalahkan jika mereka berbuat jahat. Tetapi, apakah memang begitu? Sebagaimana setir mengendalikan arah mobil dan sirip kemudi mengendalikan arah kapal, pikiran mengendalikan tubuh.

Baik atau Jahat–Anda yang Memilih
Setiap tindakan yang disengaja, baik atau jahat, bermula dari pikiran. Jika pikiran positif dan bajik ditabur, buah-buah baiklah yang dituai. Sebaliknya, jika benih hasrat yang egois dibiarkan bertunas dalam pikiran, panenan besar kejahatan biasanya bakal dituai. (Lukas 6:43-45; Yakobus 1:14, 15) Jadi, dapat dikatakan bahwa baik atau jahatnya seseorang, dia yang memilih.

Syukurlah, Alkitab memperlihatkan bahwa kita bisa belajar untuk menjadi baik. (Yesaya 1:16, 17) Kasih merupakan daya penggerak untuk melakukan kebaikan, karena “kasih tidak melakukan apa yang jahat kepada sesamanya”. (Roma 13:10) Jika kita memupuk kasih kepada orang-orang, tidak akan pernah terpikirkan oleh kita untuk bertindak jahat kepada siapa pun.

Itulah yang dipelajari Ray, dari Pannsylvania, AS. Karena terbiasa berkelahi sejak kecil, ia segera mendapat julukan “Punch”, atau tukang tonjok. Ia juga gampang naik darah. Namun, dengan menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, ia sedikit demi sedikit membuat perubahan. Tetapi, hal ini tidak selalu mudah. Adakalanya, ia seperasaan dengan Paulus yang menulis, “Apabila aku ingin melakukan apa yang benar, apa yang buruk ada padaku.” (Roma 7:21) Sekarang, setelah berupaya dengan gigih selama bertahun-tahun, Ray sanggup ‘menaklukkan apa yang jahat dengan apa yang baik’.–Roma 12:21.

Mengapa kita patut berupaya untuk “berjalan menurut jalan orang-orang baik”? (Amsal 2:20-22) Karena kebaikan pada akhirnya akan menang atas kejahatan. Alkitab menyatakan, “Karena para pelaku kejahatan akan dimusnahkan . . . Hanya sedikit waktu lagi, orang fasik tidak akan ada lagi . . . Tetapi orang-orang yang lembut hati akan memiliki bumi, dan mereka akan benar-benar mendapatkan kesenangan yang besar atas limpahnya kedamaian.” (Mazmur 37:9-11) Allah akan menghapuskan semua bekas kejahatan. Betapa gemilang masa depan yang menanti orang-orang yang rajin berupaya berbuat baik!

Apakah Semua Bagian Alkitab Masih Berguna Sekarang?

17 Maret 2010

“Alkitab sangat, sangat sedikit nilai praktisnya bagi manusia modern, paling-paling hanya untuk mengetahui hal-hal sepele agar dapat menyelesaikan teka-teki silang atau menjawab pertanyaan pada acara kuis di TV.”

“Apa yang Alkitab nyatakan tentang silsilah keluarga, keperawanan, dan takut akan Allah adalah konsep budaya yang berguna pada zaman Alkitab, tetapi tidak banyak gunanya pada abad ke-21.”

“Alkitab sudah ketinggalan zaman bahkan sebelum dicetak untuk pertama kalinya.”

Komentar-komentar tersebut baru-baru ini diambil dari sebuah situs internet, yang membahas topik “Apakah Alkitab ketinggalan zaman dan tidak berguna lagi?” Bagaimana pendapat anda? Apakah anda setuju?

Anda mungkin tidak setuju dengan komentar-komentar itu yang sama sekali menolak Alkitab, tetapi barangkali anda bertanya-tanya apakah semua yang tertulis dalam Alkitab masih berguna sekarang. Sebab, Alkitab yang digunakan di kebanyakan gereja dibagi menjadi apa yang umumnya disebut Perjanjian Lama dan Perjanjiaan Baru, yang memberi kesan bahwa lebih dari 75% isi Alkitab sudah tua, atau ketinggalan zaman.

Tidak ada lagi yang mempersembahkan korban binatang setiap hari atau untuk dosa pribadi sebagaimana ditetapkan dalam Hukum Musa. Jadi, apa gunanya melestarikan semua perincian tentang korban yang tertera dalam buku Imamat? (Imamat 1:1-7:38) Dan, bagaimana dengan pasal-pasal pembukaan buku 1 Tawarikh, yang hampir seluruhnya terdiri dari daftar silsilah? (1 Tawarikh 1:1-9:44) Jika tidak seorang pun dewasa ini bisa mengaku sebagai keturunan langsung dari seseorang yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut, apa gunanya daftar seperti itu?

Katakanlah anda memetik buah apel dari pohonnya. Setelah anda mendapat buahnya, apakah pohon yang menghasilkan buah itu tidak berguna lagi? Tentu masih berguna kalau anda ingin mendapat lebih banyak buahnya! Dalam beberapa hal Alkitab seperti pohon apel itu. Beberapa bagian dari Alkitab, seperti buku Mazmur atau Khotbah di Gunung, mungkin tampaknya mudah dicerna dan sangat “lezat”. Barangkali kita sangat menyukai bagian-bagian itu–seperti halnya buah favorit kita–tetapi, patutkah kita mengabaikan bagian-bagian lain dari Alkitab? Apa yang Alkitab sendiri katakan tentang hal itu?

Sekitar tahun 65 M, rasul Paulus menulis suratnya yang kedua kepada Timotius, mengingatkan dia, “Sejak masa bayi engkau telah mengenal tulisan-tulisan kudus, yang dapat membuatmu berhikmat untuk keselamatan melalui iman sehubungan dengan Kristus Yesus.” Kemudian, Paulus menyatakan, “Segenap tulisan kudus diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menegur, untuk meluruskan perkara-perkara, untuk mendisiplin dalam keadilbenaran.” (2 Timotius 3:15, 16) Sewaktu Paulus menulis bahwa “segenap tulisan kudus diilhamkan Allah dan bermanfaat”, apakah ia hanya memaksudkan Perjanjian Baru?

Perhatikan pernyataan Paulus bahwa Timotius telah mengenal “tulisan-tulisan kudus” sejak “masa bayi”. Kalau, seperti yang dipercayai beberapa orang, usia Timotius kira-kira 30-an tahun ketika surat itu ditulis, maka ia masih bayi pada waktu Yesus mati. Ketika itu, Perjanjian Baru, atau Kitab-Kitab Yunani, sama sekali belum ditulis. Ibu Timotius seorang Yahudi, maka tulisan-tulisan kudus yang ia ajarkan kepada putranya yang masih kecil pastilah Perjanjian Lama, atau Kitab-Kitab Ibrani. (Kisah 16:1) “Segenap Tulisan Kudus” yang Paulus maksudkan tentu mencakup seluruh Perjanjian Lama, yang berisi peraturan tentang korban dan silsilah.

Lebih dari 1.900 tahun kemudian, kita masih mendapat manfaat dari bagian-bagian Alkitab itu. Pertama, kita tidak akan pernah memiliki Alkitab andaikata Allah tidak memerintahkan agar itu ditulis dan dilestarikan oleh umat pilihan-Nya. (Roma 3:1, 2) Di Israel kuno, Hukum Musa bukan sekadar jimat keramat yang harus dilestarikan untuk generasi-generasi berikutnya, melainkan pada dasarnya merupakan undang-undang bangsa itu. Perincian dalam Hukum yang mungkin tampaknya tidak perlu bagi kita dewasa ini sangat penting untuk kelangsungan hidup dan lancarnya kegiatan bangsa Israel kuno. Selain itu, catatan silsilah dalam Alkitab perlu untuk mengidentifikasi sang Mesias, yang menurut nubuat adalah keturunan langsung Raja Daud.–2 Samuel 7:12, 13; Lukas 1:32; 3:23-31.

Kepada sidang Kristen abad pertama di Roma, Paulus menulis, “Segala perkara yang ditulis dahulu kala ditulis untuk mengajar kita dan melalui penghiburan dari Tulisan-Tulisan Kudus, kita mempunyai harapan”. (Roma 15:4) Ayat ini mengingatkan kita bahwa Alkitab dituils demi manfaat kita, namun bukan untuk kita saja. Selama lebih dari 3.500 tahun, kata-katanya yang terilham telah menuntun, mengajar, dan mengoreksi umat Allah–di padang belantara Sinai, di tanah perjanjian, di pembuangan Babilon, di Imperium Romawi, dan sekarang di seluruh dunia. Tidak ada buku lain yang bisa dengan sah memberikan pernyataan seperti itu. Seperti akar pohon apel, nilai dari beberapa bagian Alkitab pada mulanya mungkin sulit terlihat. Bisa jadi, kita harus menggali sedikit lebih dalam untuk menyingkapkan nilainya, tetapi upaya itu akan membuahkan banyak hasil.

Apakah Orang Jahat Akan Dibakar di Neraka?

8 Januari 2010

Gertrude, seorang penginjil Pantekosta, sangat berkukuh pada kepercayaan tentang neraka yang bernyala-nyala. Gagasan bahwa api neraka itu tidak ada sangat menyinggung rasa keadilannya. Ia bernalar bahwa kalau tidak ada api neraka, tidak akan ada hukuman untuk segala macam kejahatan yang mengerikan. Gertrude tetap berkeras pada pendiriannya. Ia mengatakan, “Saya tidak bakal bisa menyembah Allah kalau tidak ada api neraka untuk orang fasik.”

Apakah orang jahat akan dibakar di neraka, seperti yang diajarkan banyak agama? Jika tidak, apa hukuman bagi mereka?

Penghukuman Pertama Oleh Allah
Menurut Alkitab, Allah menciptakan pasangan manusia pertama dalam keadan sempurna. (Kejadian 1:27; Ulangan 32:4) Ia menempatkan mereka di taman firdaus dan memberi mereka kesempatan untuk hidup selama-lamanya. Akan tetapi, ada satu larangan bagi manusia pertama, Adam dan Hawa. Allah memperingatkan mereka, “Setiap pohon di taman ini boleh kaumakan buahnya sampai puas. Tetapi mengenai pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, engkau tidak boleh memakan buahnya, karena pada hari engkau memakannya, engkau pasti akan mati.”–Kejadian 2:16, 17.

Sungguh menyedihkan, oran tua kita yang pertama melanggar ujian keloyalan dan ketaatan yang sederhana itu. Sang Pencipta harus menghukum mati mereka. “Dengan keringat di mukamu engkau akan makan roti hingga engkau kembali ke tanah, karena dari situ engkau diambil. Karena engkau debu dan engkau akan kembali ke debu.”–Kejadian 3:19.

Seandainya Adam dan Hawa bakal dihukum dengan dibakar di neraka, tidakkah Allah akan memperingatkan mereka lebih dahulu? Faktanya adalah Ia tidak mengatakan apa-apa soal penderitaan setelah kematian. Bagaimana mungkin mereka menderita? Mereka tidak mempunyai jiwa yang tidak berkematianyang tetap hidup setelah mereka mati. Alkitab menyatakan hal ini dengan sangat jelas, “Jiwa yang berbuat dosa–jiwa itulah yang akan mati.”–Yehezkiel 18:4.

Sebagai Pemberi kehidupan, Pencipta kita mengetahui segalanya tentang kehidupan dan kematian. Ia memberi tahu kita dalam Firman-Nya bahwa “orang mati . . . sama sekali tidak sadar akan apa pun”. (Pengkhotbah 9:5) Itulah sebabnya Adam dan Hawa tidak mungkin menderita di neraka yang bernyala-nyala setelah mereka mati. Mereka sudah kembali menjadi debu dan lenyap. Mereka “sama sekali tidak sadar akan apa pun”.

Bisakah Kita Menderita Sesudah Mati?
Alkitab mengatakan di Roma 5:12, “Dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan kematian, melalui dosa, demikianlah kematian menyebar kepada semua orang.” Maka, apakah sebenarnya masuk akal untuk percaya bahwa orang-orang menderita dalam api neraka akibat dosa mereka, sedangkan Adam, yang menyebabkan seluruh umat manusia mati, cuma menjadi debu setelah ia mati?–1 Korintus 15:12.

Kita semua berada di bawah hukum yang sama seperti Adam. “Upah yang dibayarkan oleh dosa adalah kematian.” Selain itu, begitu seseorang mati, ia “dibebaskan dari dosanya”. (Roma 6:7, 23) Jika orang baik maupun orang jahat mati dan tak seorang pun menderita setelahnya, bagaimana Allah dapat dikatakan adil?

Keadilan Allah
Maksud-tujuan Allah bagi umat manusia yang taat tidak berubah sejak Ia menciptakan pasangan manusia pertama dan memerintahkan mereka untuk mempunyai anak serta mengurus bumi. (Kejadian 1:28) Jelaslah, ini masih menjadi maksud-tujuan-Nya, sebab belakangan Ia menyatakan, “Orang-orang adil-benar akan memiliki bumi, dan mereka akan mendiaminya selama-lamanya.”–Mazmur 37:29.

Perhatikan bahwa orang adil-benar akan tinggal di bumi ini. Mereka akan menikmati kesehatan dan kebahagiaan yang sempurna. Maksud-tujuan Allah yang semula agar umat manusia yang adil-benar memenuhi bumi pasti “akan berhasil”. Ini akan terwujud sewaktu Ia mengganti sistem fasik sekarang ini dengan dunia baru.–Yesaya 55:11; Daniel 2:44; Wahyu (Penyingkapan) 21:4.

Miliaran orang yang sudah mati namun kurang pengetahuan tentang tuntutan Allah akan dibangkitkan dan diajar untuk hidup dalam dunia baru Allah. (Yesaya 11:9; Yohanes 5:28, 29) Sebaliknya, orang-orang yang menolak untuk mengikuti hukum Allah akan menerima hukuman berupa “kematian yang kedua”. Orang-orang yang mengalami kematian ini tidak akan pernah hidup lagi.–Wahyu (Penyingkapan) 21:8; Yeremia 51:57.

Jelaslah, karena Yehuwa adalah kasih, Ia tidak menyiksa orang di api neraka. (1 Yohanes 4:8) Ia juga tidak akan menoleransi kefasikan untuk selama-lamanya. Maka, Mazmur 145:20 meyakinkan kita bahwa “Yehuwa menjaga semua orang yang mengasihinya, tetapi semua orang fasik akan ia musnahkan.” Hal itu pengasih dan adil, bukan?

Seperti Apakah Rupa Yesus Sebenarnya?

8 Januari 2010

Bukti sejarah duniawi tentang rupa Yesus sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini turut menyebabkan perbedaan-perbedaan utama dalam berbagai karya seni yang menampilkan sosok Yesus. Dua faktor adalah kebudayaan negara tersebut dan masa ketika karya seni itu dibuat. Selain itu, agama yang dianut para seniman dan orang-orang yang menugasi mereka, turut mempengaruhi cara mereka menggambarkan Yesus.

Selama berabad-abad, para seniman terkenal seperti Michelangelo, Rembrandt dan Rubens, memberikan perhatian yang berlebih-lebihan pada penampilan fisik Yesus. Karya mereka yang sering kali dibumbui hal-hal yang bersifat lambang dan mistik, besar sekali pengaruhnya terhadap pandangan umum tentang rupa Yesus. Akan tetapi, apa sebenarnya dasar interpretasi mereka?

Apa yang Dikatakan Oleh Sejarah Duniawi
Karya-karya seni yang dibuat sebelum zaman Kaisar Konstantin dari Roma, yang hidup sekitar tahun 280 hingga 337 M, sering menggambarkan Yesus sebagai “Gembala yang Baik” yang masih belia dengan rambut keriting, panjang maupun pendek. Tetapi tentang ini, buku Art Through the Ages berkata, “Gagasan tentang Gembala yang Baik sebenarnya berasal dari budaya kafir Yunani Kuno hingga kesenian Mesir, tetapi kemudian menjadi simbol pelindung setia bagi kawanan Kristen”.

Belakangan, pengaruh kafir ini menjadi semakin nyata. “Yesus”, tambah buku itu, “dapat dengan mudah disejajarkan dengan dewa-dewa yang termasyhur dari dunia Mediaterania, terutama Helios (Apollo), dewa matahari [yang belakangan dipakaikan pada Yesus dan kemudian pada “para santo”], atau wajah ketimurannya yang dibuat bergaya Roma, Sol Invictus (Matahari yg Tak Tertaklukkan).” Di sebuah mausoleum [makam megah] yang ditemukan di bawah gereja Santo Petrus di Roma, Yesus malah digambarkan sebagai Apollo “yang sedang mengendarai kereta-matahari yang ditarik oleh kuda-kuda melintasi angkasa”.

Akan tetapi, Yesus dalam rupa yang lebih belia ini tidak bertahan lama. Adolphe Didron, dalam bukunya Christian Iconography, menyatakan apa yang terjadi, “Rupa Kristus yang tadinya masih belia, menjadi semakin tua dari abad ke abad. . . sejalan dengan usia kekristenan.”

Sebuah naskah dari abad ke-13 yang diakui sebagai surat yang dituli seseorang bernama Publius Lentulus kepada Senat Roma memberikan deskripsi tentang penampilan fisik Yesus, dengan mengatakan bahwa ia “berambut lurus berwarna cokelat muda hingga sebatas kuping, tetapi dari kuping ke bawah, rambutnya keriting, lebih gelap warnanya, serta lebih berkilau, panjangnya sampai ke pundak; rambutnya dibelah tengah . . . , cambangnya lebat sewarna dengan rambut, tidak panjang, tetapi agak menekuk di bagian dagu; . . . matanya abu-abu . . . dan jernih.” Gambaran yang tidak autentik ini belakangan mempengaruhi banyak seniman. “Setiap masa,” kata New Catholic Encyclopedia, “menghadirkan sosok Kristus sesuai selera.”

Selain bergantung pada masa pembuatannya, sosok Kristus juga bergantung pada ras dan agama. Karya seni berbau agama yang berasal dari ladang misionaris di Afrika, Amerika dan Asia menggambarkan Kristus berambut panjang model Barat; tetapi kadang-kadang “ciri-ciri penduduk asli” ditambahkan pada rupa Kristus, demikian pernyataan  ensiklopedi tersebut.

Kelompok Protestan juga memilikiseniman sendiri, dan mereka ini menginterpretasikan rupa Kristus menurut cara mereka sendiri. F.M. Godfrey, dalam bukunya Christ and the Apostles–The Changing Forms of Religious Imagery, menyatakan, “Kristus yang tragis karya Rembrandt berasal dari semangat Protestan, yang penuh kesengsaraan, menakutkan, kepayahan, . . . gambaran sosok yang berpenampilan tertutup, jiwa Protestan yang penuh penyangkalan diri.” Hal ini tercermin, katanya, pada “tubuhnya yang kurus, penyangkalan diri, ‘kerendahan hati, sesuatu yang menimbulkan rasa kasihan dan berkesan khidmat’ yang dengan karyanya itu Rembrandt menciptakan suatu epik Kristen”.

Akan tetapi, sebagaimana akan kita lihat sekarang, gambaran Kristus sebagai pribadi yang loyo, yang dilingkari halo di kepala, tidak jantan, tampak sendu, berambut panjang, yang sering muncul dalam karya seni susunan Kristen, tidaklah akurat. Kenyataannya, gambaran ini jauh berbeda dari gambaran Yesus dalam Alkitab.

Alkitab dan Rupa Yesus
Sebagai “Anak Domba Allah”, Yesus tidak memiliki cacat, jadi ia pasti seorang pria yang tampan. (Yohanes 1:29; Ibrani 7:26) Dan, ia pasti tidak memiliki rupa permanen yang sendu sebagaimana digambarkan dalam karya seni populer. Memang, ia mengalami banyak peristiwa yang menyusahkan hati dalam kehidupannya, tetapi secara umum, ia dengan sempurna mencerminkan Bapaknya, “Allah yang bahagia”.–1 Timotius 1:11; Lukas 10:21; Ibrani 1:3.

ApakahYesus berambut panjang? Hanya orang Nazir yang tidak diperbolehkan memotong rambut mereka atau meminum anggur, sedangkan Yesus bukan orang Nazir. jadi, rambutnya pasti dipangkas rapi seperti pria Yahudi lainnya. (Bilangan 6:2-7) Ia juga menikmati anggur secara bersahaja ketika berada bersama orang-orang lain, dan ini semakin meneguhkan pandangan bahwa ia bukan pemurung. (Lukas 7:34) Malah, ia membuat anggur secara mukzijat pada pesta pernikahan di Kana, Galilea. (1 Yohanes 2:1-11) Dan, ia pasti berjanggut, terbukti dari nubuat tentang penderitaannya.–Yesaya 50:6.

Bagaimana dengan warna kulit dan raut wajah Yesus? Bisa jadi berciri Semitis. Kemungkinan ia mewaisi ciri-ciri ini dari ibunya, Maria, yang adalah orang Yahudi. Nenek moyangnya adalah orang Yahudi, dalam garis keturunan Ibrani. Jadi kemungkinan Yesus memiliki wana kulit dan raut wajah orang Yahudi pada umumnya.

Rupanya, bahkan di antara rasul-rasulnya, Yesus secara fisik tidak terlalu menonjol, karena Yudas, sewaktu hendak mengkhianati Yesus kepada musuh-musuhnya, harus mencium Yesus sebagai tanda. Jadi, Yesus tidak mencolok di tengah orang banyak. Dan, memang demikian, karena bukti setidak-tidaknya pada satu kesempatan, ia mengadakan perjalanan dari Galilea ke Yerusalem tanpa dikenali.–Markus 14:44; Yohanes 7:10, 11.

Namun, beberapa orang menyimpulkan, bahwa Yesus pasti loyo. Mengapa mereka mengatakan hal ini? Salah satu alasannya, ia butuh bantuan untuk memikul tiang siksaannya. Selain itu, di antara tiga pria yang dipantek, ia yang lebih dahulu mati.–Lukas 23:26; Yohanes 19:17, 32, 33.

Yesus Tidak Loyo
Bertentangan dengan tradisi, Alkitab tidak menggambarkan Yesus sebagai orang yang loyo atau tidak jantan. Sebaliknya, dikatakan bahwa sebagai seorang remaja ia “terus bertambah dalam hikmat dan dalam pertumbuhan fisik serta diperkenan oleh Allah dan manusia”. (Lukas 2:52) Selama hampir 30 tahun ia bekerja sebagai tukang kayu. Mata pencaharian ini tentu bukan untuk orang yang berperawakan lemah atau loyo, terutama pada masa itu, ketika belum ada mesin-mesin modern yang menghemat tenaga manusia. (Markus 6:3) Selain itu, Yesus mengusir ternak, domba, dan para penukar uang dari bait serta menjungkirbalikkan meja-meja para penukar uang. (Yohanes 2:14, 15) Ini juga memberi kesan pribadi yang jantan, dan kuat secara fisik.

Selama tiga setengah tahun terakhir dari kehidupannya di bumi, Yesus berjalan kaki ratusan kilometer untuk mengabar. Namun, murid-muridnya tidak pernah memberi kesan bahwa ia ‘beristirahat sedikit’. Justru, Yesus-lah yang berkata kepada mereka, yang beberapa di antaranya semula nelayan yang kuat, “Datanglah, kamu sendiri, secara pribadi ke dalam tempat yang sunyi dan beristirahatlah sedikit.”–Markus 6:31.

Ya, “seluruh penginjilan”, kata Cyclopedia M’Clintock dan Strong, “menunjukkan bahwa [Yesus memiliki] badan yang bugar dan prima”. Jadi, mengapa ia meminta bantuan untuk memikul tiang siksaannya, dan mengapa ia lebih dahulu mati dibandingkan dengan kedua pria yang dipantek bersamanya?

Salah satu faktor kunci adalah penderitaan yang luar biasa. Seraya waktu eksekusinya mendekat, Yesus berkata, “Sesungguhnya, aku harus dibaptis dengan suatu pembaptisan, dan betapa menderitanya aku sampai itu selesai!” (Lukas 12:50) Penderitaan ini berkembang menjadi “penderitaan yang dalam” pada malam terakhirnya, “Memasuki penderitaan yang dalam ia terus berdoa lebih bersungguh-sungguh; dan keringatnya menjadi seperti tetes-tetes darah yang jatuh ke tanah.” (Lukas 22:44) Yesus tahu bahwa prospek manusia untuk hidup kekal bergantung pada integritasnya sampai mati.  Sungguh suatu beban yang berat untuk dipikul! (Matius 20:18, 19, 20) Ia juga tahu bahwa ia akan dieksekusi sebagai seorang penjahat yang ‘terkutuk’ oleh umat Allah sendiri. Itulah sebabnya, ia khawatir kalau-kalau hal ini akan mendatangkan celaan bagi Bapaknya.–Galatia 3:13; Mazmur 40:7, 8; Kisah 8:32.

Setelah pengkhianatan terhadapnya, ia mengalami kekejaman beruntun. Dalam sebuah persidangan pura-pura yang diadakan setelah tengah malam, para pejabat tertinggi di negeri itu mengejeknya, meludahinya, dan meninjunya. Untuk memberi kesan bahwa persidangan sebelumnya sah, persidangan lain diadakan keesokan paginya. Di persidangan ini, Yesus diinterogasi oleh Pilatus; kemudian oleh Herodes, yang bersama para tentaranya, mengolok-olok dia; kemudian oleh Pilatus lagi. Akhirnya, Pilatus menyuruh agar ia desesah. Dan, ini bukan cambukan biasa. Tentang praktek penyesahan oleh orang Roma, The Journal of the American Medical Association berkata,

“Alat yang biasa digunakan adalah cambuk pendek . . . dengan beberapa tali kulit yang berbeda panjangnya yang beberapa di antaranya dijalin, diberi bola-bola besi kecil atau potongan-potongan tulang domba yang tajam secara berselang-seling . . . Sewaktu serdadu-serdadu Roma berkali-kali mencambuk punggung korban dengan kekuatan penuh, bola-bola besi akan menyebabkan luka memar yang dalam, dan tali-tali  kulit serta tulang-tulang domba akan menyayat kulit serta jaringan di bawah kulit. Kemudian, seraya pencambukan terus berlangusng, luka goresan akan menyobek urat-urat pada kerangka tulang dan menghasilkan serpihan daging yang berdarah.”

Jelaslah, jauh sebelum ia merasa kepayahan karena beratnya tiang yang ia pikul, daya tahan Yesus pasti sudah sangat merosot. Bahkan The Journal of the American Medical Association menyatakan, “Penganiayaan secara risik dan mental yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Roma, juga kurangnya makanan, air dan istirahat, turut menyebabkan keadaannya, secara umum loyo. Oleh karena itu, bahkan sebelum ia benar-benar disalib, kondisi fisik Yesus setidak-tidaknya parah dan kemungkinan kritis.

Apakah Rupa Yesus Penting?
Jika dilihat dari gambaran tertulis Lentulus yang keliru dan tidak sahih, hasil karya seniman hebat yang terkenal maupun jendela-jendela modern berkaca patri, susunan Kristen tampaknya terpukau oleh hal-hal yang memikat mata. “Kuasa penggugah yang luar biasa dari sosok Yesus Kristus perlu dilestarikan,” kata uskup agung Turin, penjaga Jubah Turin yang kontroversial.

Namun, Fiman Allah dengan sengaja menghapus perincian “penggugah” tentang rupa Yesus. Mengapa? Kemungkinan besar, hal itu akan menyimpangkan perhatian dari perkara yang berarti kehidupan abadi–pengetahuan Alkitab. (Yohanes 17:3) Yesus sendiri–model kita yang utama–“tidak memandang, atau tidak menganggap penting, “penampilan luar orang”. (Matius 22:16; bandingkan Galatia 2:6) Menekankan penampilan fisik Yesus sekalipun hal itu tidak disebutkan sama sekali dalam Injil-Injil terilham adalah sama saja dengan menentang makna Injil. Sebenarnya, Yesus sebagaimana akan kita lihat dalam artikel berikut, bahkan tidak lagi berada dalam wujud manusia.

Apakah Nasib Anda Sudah Ditentukan?

17 Desember 2009

Pada suatu pagi, seorang pengusaha bergegas ke bandara, tetapi ketinggalan pesawat. Tidak lama kemudian, ia mendengar berita–pesawat itu jatuh. Semua penumpang tewas.

Dari waktu ke waktu, kita mendengar laporan tentang orang yang lolos dari kecelakaan fatal. Kata orang, “Belum waktunya ia mati.” Tetapi, kalau ada yang tewas, orang mengatakan, “Ya, memang sudah waktunya.” Ada yang percaya bahwa sejak lahir, nasib seseorang sudah digariskan oleh suatu hukum keberuntungan. Ada lagi yang percaya bahwa orang yang berbuat jahat dalam kehidupan sebelumnya dihukum dalam kehidupan sekarang, dan orang yang berbuat baik sekarang akan diupahi dalam kehidupan berikutnya. Menurut orang-orang tersebut yang percaya kepada nasib, dengan berbuat baik dan dengan menjalani upacara keagamaan tertentu mereka dapat mengubah nasib mereka. Apakah pandangan-pandangan itu masuk akal?

Apakah memang masuk akal?
Mari kita pikirkan pandangan yang pertama. Jika nasib manusia ditentukan oleh suatu hukum bahwa orang akan mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatannya, siapa yang menetapkan dan menegakkan hukum itu? Katakanlah Anda pergi ke luar negeri dan mengamati ada sejumlah peraturan lalu lintas yang terperinci dengan sistem hak dan sanksi, atau pencabutan hak. Apakah masuk akal untuk berpikir bahwa peraturan itu ada dengan sendirinya dan dijalankan tanpa ada yang menegakkannya?

Sekarang, mari kita pikirkan pandangan yang kedua. Apakah penderitaan dalam kehidupan sekarang adalah akibat perbuatah jahat dalam kehidupan sebelumnya? Jika seseorang berbuat dosa dalam kehidupan yang konon adalah kehidupan sebelumnya tetapi sekarang tidak tahu apa-apa tentang dosa itu, bagaimana ia dapat memperbaiki diri? Jika ia tidak tahu penyebab penderitaannya, bagaimana penderitaan itu dapat membantunya berubah menjadi orang yang lebih baik? Apakah hal itu benar-benar adil?

Sebagai gambaran: Ada seorang anak yang suka berbohong. Apa jadinya jika ayahnya menyuruh dia memperbaiki tingkah lakunya, tetapi tidak memberi tahu apa kesalahannya? Boleh jadi, anak itu akan lebih rajin belajar di sekolah atau tidak nakal lagi. Namun, karena tidak diberi tahu bahwa berbohong itu salah, ia mungkin tidak akan pernah tahu bahwa ia tidak boleh berbohong lagi. Apakah cara itu bermanfaat bagi sang anak atau apakah perlakuan seperti itu adil? Mengenai penderitaan akibat berbuat dosa dalam kehidupan sebelumnya, seorang wanita berkata, “Tidak masuk akal bahwa saya harus menderita seumur hidup padahal saya sama sekali tidak tahu apa alasannya. Saya tida punya pilihan, itu sudah nasib saya.”

Percaya kepada nasib bisa menimbulkan akibat buruk lainnya. Sewaktu menghadapi kesulitan atau perlakuan tidak adil, ada yang mungkin berpikir, ‘Memang sudah nasib saya, jadi saya pasrah saja.’ Yang lain percaya bahwa dengan menjalani upacara keagamaan tertentu yang menghabiskan banyak biaya atau dengan memindah-mindahkan barang di dalam rumah, mereka dapat mengubah keberuntungan mereka. Akibatnya, orang harus mengeluarkan banyak uang dan bahkan menjadi korban orang-orang yang tak bermora.

Alasan sebenarnya kita menderita
Apa yang Alkitab katakan tentang nasib dan tentang dosa dalam “kehidupan sebelumnya”? Alkitab dengan tandas memberi tahu kita, “Yang hidup sadar bahwa mereka akan mati; tetapi yang mati, mereka sama sekali tidak sadar akan apa pun . . . Semua yang dijumpai tanganmu untuk dilakukan, lakukanlah dengan segenap kekuatanmu, sebab tidak ada pekerjaan atau rancangan atau pengetahuan atau hikmat di Syeol [kuburan], tempat ke mana engkau akan pergi.” (Pengkhotbah 9:5, 10) Dengan kata lain, apabila seseorang mati, ia tidak dapat berpikir atau bekerja lagi. Ia tidak mempunyai bagian halus yang terus hidup setelah tubuh mati dan karena itu, ia tidak dapat dilahirkan kembali sebagai orang lain.

Kalau begitu, mengapa ada yang tertimpa musibah sedangkan yang lain tidak? Pertama-tama, Pengkhotbah 9:11 memberi tahu kita, “Waktu dan kejadian yang tidak terduga menimpa mereka semua.” Sering sekali, orang mendapat kecelakaan hanya karena kebetulan berada di tempat kejadian. Mari kita kembali ke contoh yang disebutkan di paragraf pertama. Setiap hari, karena berbagai alasan, orang ketinggalan pesawat terbang, feri, atau bus. Kalau tidak ada kecelakaan fatal, orang segera melupakan hal yang sepele itu. Tetapi, apabila ada bencana, orang yang selamat mungkin berpikir bahwa belum waktunya ia mati.

Musibah juga dapat terjadi akibat ulah manusia, dan itulah alasan kedua mengapa orang menderita. Pengkhotbah 8:9 mengatakan, “Manusia menguasai manusia sehingga ia celaka.” Orang yang berkuasa mungkin menyalahgunakan wewenang mereka, dan akibatnya, orang lain menderita. Selain itu, cara hidup seseorang bisa berpengaruh atas apa yang terjadi. Misalnya, kebiasaan buruk dapat merusak kesehatan, dan sifat buruk bisa membuat hubungan tegang. Galatia 6:7 mengatakan, “Apa pun yang ditabur orang, ini juga yang akan dituainya.”

Alasan ketiga mengapa manusia menderita berkaitan dengan fakta bahwa kita hidup pada “hari-hari terakhir”. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, Yesus bernubuat tentang penutup sistem ini, “Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kerajaan melawan kerajaan, dan akan ada kekurangan makanan dan gempa bumi di berbagai tempat . . . Oleh karena bertambahnya pelanggaran hukum, kasih kebanyakan orang akan mendingin.” (2 Timotius 3:1-5; Matius 24:3, 7, 12) Seraya kondisi dunia memburuk dan kekerasan serta bencana alam bertambah banyak, masuk akal bahwa jauh lebih besar kemungkinannya kita tertimpa musibah.

Tetapi, masa depan manusia sama sekali tidak suram! Setelah menggambarkan hari-hari terakhir, Yesus mengatakan, “Dia yang telah bertekun sampai akhir adalah orang yang akan diselamatkan. Dan kabar baik kerajaan ini akan diberitakan di seluruh bumi yang berpenduduk sebagai suatu kesaksian kepada semua bangsa; dan kemudian akhir itu akan datang.” (Matius 24:13, 14) Kerajaan yang disebutkan di sini adalah pemerintahan yang telah Allah dirikan di surga, dengan Yesus Kristus sebagai Raja yang terpilih. Kerajaan Allah akan segera menyingkirkan semua kejahatan di bumi, dengan demikian mengakhiri sistem sekarang. Kehidupan di bumi akan benar-benar berubah! “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan kematian tidak akan ada lagi, juga tidak akan ada lagi perkabungan atau jeritan atau rasa sakit. Perkara-perkara yang terdahulu telah berlalu.” (Penyingkapan [Wahyu] 21:4) Ya, ini benar-benar kabar baik!

Apa yang menentukan masa depan anda?
Apa yang harus kita lakukan agar dapat menerima berkat yang akan dihasilkan oleh Kerajaan Allah? Alkitab dengan jelas mengatakan, “Dunia ini sedang berlalu, demikian pula keinginannya, tetapi ia yang melakukan kehendak Allah akan tetap hidup untuk selamanya.” (1 Yohanes 2:17) Orang yang melakukan kehendak Allah mempunyai prospek untuk hidup selama-lamanya di bumi di bawah pemerintahan Kerajaan-Nya. Tentu, untuk melakukan kehendak Allah, pertama-tama Anda harus mengetahui kehendak-Nya. Itulah sebabnya Yesus berkata, “Inilah berarti kehidupan abadi, bahwa mereka terus memperoleh pengetahuan mengenai dirimu, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenai pribadi yang engkau utus, Yesus Kristus.” (Yohanes 17:3) Dengan mempelajari Alkitab, anda dapat mengetahui kehendak Allah yang benar, Yehuwa, dan juga ajaran Yesus Kristus. Inilah langkah awal yang sangat penting yang akan menghasilkan berkat berupa kehidupan abadi.

Masa depan Anda tidak ditentukan oleh nasib, tetapi bergantung pada pilihan yang Anda buat sekarang. Karena itu, melalui seorang penulis Alkitab, Allah mendesak, “Aku menjadikan langit dan bumi sebagai saksi sehubungan dengan kamu pada hari ini, bahwa aku menaruh kehidupan dan kematian di hadapan engkau, berkat dan laknat; dan pilihlah kehidupan agar engaku tetap hidup, engkau dan keturunanmu.” (Ulangan 30:19) Semoga Anda memilih untuk mempelajari Alkitab dan melakukan kehendak Allah agar Anda juga dapat memiliki prospek kehidupan dan kebahagiaan untuk selamanya!

Mengapa Alkitab Praktis untuk Zaman Kita?

31 Oktober 2009

“Semua yang tertulis dalam Alkitab, diilhami oleh Allah dan berguna . . . untuk mengajar manusia supaya hidup.”–2 Timotius 3:16, Bahasa Indonesia Masa Kini [BIMK].

Selama berabad-abad, Alkitab telah menggugah orang di banyak kebudayaan untuk mengubah jalan hidup mereka agar menjadi lebih baik. Ayat yang dikutip di atas menjelaskan mengapa Alkitab efektif dalam hal ini–hikmatnya berasal dari Allah. Meski ditulis oleh manusia, Alkitab mengkomunikasikan pikiran Allah kepada kita. Alkitab menjelaskan, “Manusia mengatakan apa yang berasal dari Allah seraya mereka dibimbing oleh roh kudus.”–2 Petrus 1:21.

Alkitab adalah pembimbing yang praktis setidaknya dalam dua cara. Pertama, Alkitab menyediakan pandangan yang realistis tentang apa yang dimaksud jalan hidup yang lebih baik. Kedua, Alkitab memiliki kuasa untuk memotivasi orang membuat perubahan yang diperlukan guna mencapai jalan hidup yang lebih baik itu. Mari kita ulas dua aspek ini.

Pemahaman Tentang Tujuan yang Praktis
Dalam Alkitab, Allah memberi janji ini, “Aku akan membuatmu memiliki pemahaman dan mengajarmu mengenai jalan yang harus kautempuh. Aku akan memberikan nasihat dengan mataku tertuju kepadamu.” (Mazmur 32:8) Perhatikan bahwa Allah memberikan bukan hanya nasihat melainkan juga pemahaman, yakni kesanggupan untuk mengerti berbagai aspek suatu situasi. Karena memiliki pemahaman untuk mengerti tujuan yang benar-benar bermanfaat, kita bisa dilindungi sehingga tidak menyia-nyiakan kehidupan guna mengejar tujuan yang tidak berguna.

Misalnya, banyak orang menjadikan kedudukan terkemuka atau kemakmuran sebagai tujuan hidup. Ada banyak sekali buku pengembangan diri tentang cara mengungguli orang lain demi meraih status atau menjadi kaya. Alkitab, sebaliknya, memberi tahu kita, Persaingan seorang terhadap yang lain . . . adalah kesia-siaan dan perjuangan mengejar angin.” “Orang yang mencintai perak tidak akan dipuaskan dengan perak.” (Pengkhotbah 4:4; 5:10) Apakah itu nasihat yang praktis bagi kita sekarang?

Untuk menggambarkan betapa praktisnya nasihat dari Alkitab, mari kita perhatikan pengalaman Akinori, di Jepang. Setelah memenangkan persaingan yang sengit, Akinori mencapai tujuannya, yakni lulus dari universitas unggulan dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang bergengsi. Segala sesuatu tampaknya berjalan mulus. Namun, keberhasilannya tidak memberinya kebahagiaan yang ia harapkan. Malah, stres dan keletihan merusak kesehatannya. Rekan-rekan sekerjanya tidak banyak membantu. Karena merasa tertekan, ia menjadi pemabuk dan bahkan memikirkan untuk bunuh diri. Lalu, ia mulai belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Apa yang ia pelajari mengubah pandangannya mengenai hal yang penting dalam kehidupan. Segera, berbagai penyakitnya akibat stres mulai lenyap. Akinori tidak lagi dikendalikan oleh keangkuhan dan ambisi, tetapi mulai mengalami sendiri apa yang dikatakan peribahasa dalam Alitab, “Hati yang tenang menyehatkan badan.”–Amsal 14:30, BIMK.

Apa yang anda anggap tujuan yang paling bermanfaat dalam kehidupan? Pencapaian apa yang akan membuat anda benar-benar berbahagia? Mempunyai perkawinan yang sukses? Atau, memberi anak-anak anda pendidikan yang baik? Mempunyai banyak teman? Mendapatkan kesenangan hidup? Itu semua tujuan yang tidak sia-sia. Malah, Alkitab menganjurkannya, meski bukan sebagai tujuan utama dalam kehidupan. Alkitab dengan realistis menunjukkan persyaratan mendasar untuk memperoleh jalan hidup yang memuaskan, yakni, “Takutlah akan Allah yang benar dan jalankanlah perintah-perintahnya. Sebab inilah seluruh kewajiban manusia.” (Pengkhotbah 12:13) Apabila kita lalai melaksanakan kewajiban itu, kehidupan menjadi tidak bertujuan, penuh rasa frustasi, dan akhirnya mengecewakan. Sebaliknya, Alkitab meyakinkan kita, “Berbahagialah ia yang percaya kepada Yehuwa.”–Amsal 16:20.

Bagaimana Alkitab Menggugah Orang untuk Berubah
“Firman Allah itu hidup dan mengerahkan kuasa, ” tulis rasul Paulus. Seperti pedang bermata dua yang tajam, Firman itu bisa menembus pikiran dan niat kita yang terdalam. (Ibrani 4:12) Alkitab mempunyai kuasa untuk mengubah cara hidup orang-orang karena bisa membantu mereka melihat diri sebagaimana adanya dan bukan cuma seperti yang mereka pikir. Maka, orang-orang dengan keadaan hati yang benar akan menyadari perlunya membuat perubahan. Misalnya, mengenai orang-orang di sidang Kristen di Korintus zaman dahulu yang sebelumnya adalah pencuri, pemabuk, pezina dan lain sebagainya, Paulus mengatakan, “Demikianlah beberapa orang di antara kamu dahulu. Tetapi kamu telah dicuci bersih . . . dengan roh Allah kita.” (1 Korintus 6:9-11) Roh kudus Yehuwa sama aktif dan berkuasanya dewasa ini, dan roh itu dapat menggugah orang-orang untuk membuat perubahan yang diperlukan.

Mario, yang tinggal di Eropa, berwatak beringas dan mengisap serta menjual mariyuana. Sekali peristiwa, ketika seorang polisi menyita narkoba miliknya, ia menjadi begitu marah sehingga menyerang polisi itu serta menghancurkan mobilnya. Selain itu, Mario menganggur dan terlilit utang. Karena sadar dirinya tidak bisa memecahkan problem-problemnya, ia bersedia menerima pelajaran Alkitab. Setelah membuat kemajuan, Mario merapikan penampilannya, berhenti menggunakan dan menjual narkoba, dan tidak lagi menggunakan kekerasan. Banyak orang yang mengetahui tingkah lakunya dulu merasa heran. Mereka menyapanya dan bertanya, “Kamu Mario, kan?”

Apa yang memotivasi orang-orang seperti Akinori dan Mario untuk mengubah kehidupan mereka dan mersakan kepuasan serta kesenangan hidup yang sejati? Jelaslah, itu adalah pengetahuan tentang Allah yang baru mereka peroleh melalui pelajaran Alkitab. Hanya Allah yang dapat menyediakan petunjuk praktis yang kita perlukan agar meraih sukses dalam kehidupan sekarang dan mendapatkan kehidupan abadi di masa depan. Seperti seorang Bapak, Allah Yehuwa berbicara kepada kita melalui Alkitab, “Dengarkanlah, putraku, dan termalah perkataanku. Maka tahun-tahun kehidupanmu akan menjadi banyak. . . . Apabila engkau berjalan, langkahmu tidak akan terhambat; dan jika engkau berlari, engkau tidak akan tersandung. Berpeganglah pada disiplin; jangan lepaskan. Lindungilah dia, karena dialah kehidupanmu.” (Amsal 4:10-13) Nasihat mana yang lebih praktis bagi kita selain mencari bimbingan Pencipta kita?

NASIHAT YANG PRAKTIS UNTUK DEWASA INI

Alkitab menyediakan prinsip-prinsip dasar namun praktis yang dapat membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan modern. Berikut beberapa contohnya.

– Menikmati hubungan yang baik dengan orang-orang lain
“Segala sesuatu yang kamu ingin orang lakukan kepadamu, demikian juga harus kamu lakukan kepada mereka.”–Matius 7:12.
“Dia yang bertingkah laku sebagai pribadi yang lebih kecil di antara kamu semua, dialah yang besar.”–Lukas 9:48.
“Ikutilah haluan suka menerima tamu.”–Roma 12:13.

– Mengatasi kebiasaan yang merusak
“Ia yang berjalan dengan orang-orang berhikmat akan menjadi berhikmat, tetapi ia yang berurusan dengan orang-orang bebal akan mengalami kemalangan.”–Amsal 13:20.
“Jangan ada di antara para peminum-berat anggur.”–Amsal 23:30.
“Jangan berteman dengan siapa pun yang lekas marah.”–Amsal 22:24.

– Membina perkawinan yang stabil
“Hendaklah kamu masing-masing secara perorangan juga mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri; sebaliknya, istri harus memiliki respek yang dalam kepada suaminya.”–Efesus 5:33.
“Kenakanlah keibaan hati yang lembut, kebaikan hati, kerendahan hati, kelemahlembutan , dan kepanjangsabaran. Teruslah bersabar seorang terhadap yang lain dan ampuni satu sama lain dengan lapang hati.”–Kolose 3:12, 13.

– Membantu anak-anak
“Latihlah anak laki-laki menurut jalan untuknya; bahkan pada waktu ia tua, ia tidak akan menyimpang darinya.”–Amsal 22:6.
“Kamu, bapak-bapak, janganlah membuat anak-anakmu kesal, tetapi teruslah besarkan mereka dengan disiplin dan pengaturan mental dari Yehuwa.”–Efesus 6:4.

– Menghindari pertengkaran
“Jawaban yang lemah lembut menjauhkan kemurkaan, tetapi perkataan yang memedihkan hati menimbulkan kemarahan.”–Amsal 15:1.
“Dalam hal memperlihatkan hormat, hendaklah saling mendahului.”–Roma 12:10.
Bahkan di antara teman-teman, pertikaian bisnis sering kali dapat dihindari dengan membuat persetujuan tertulis. Maka, hamba Allah bernama Yeremia menulis, “Aku menulis sebuah akta dan membubuhkan meterai dan mengambil saksi-saksi pada waktu aku menimbang uang itu di timbangan.”–Yeremia 32:10.

– Memupuk sikap yang positif
“Perkara apa pun yang benar, . . . yang membangkitkan perasaan kasih, . . . yang patut dibicarakan, apa pun yang bajik dan perkara apa pun yang patut dipuji, teruslah pikirkan semuanya ini.”–Filipi 4:8.
Alkitab tidak menganjurkan kita untuk terus memikirkan hal-hal negatif, serta mengecam orang-orang yang “mengeluh tentang keadaan mereka dalam kehidupan”. Alkitab mengatakan, “Bersukacitalah dalam harapan.”–Yudas 4, 16; Roma 12:12.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang bagus ini, kita tidak hanya bisa menikmati kedamaian serta kepuasan sekarang, tetapi kita juga terbantu untuk menyelaraskan diri dengan persyaratan Allah serta menerima berkat-Nya. Alkitab mengatakan, “Orang-orang adil-benar akan memiliki bumi, dan mereka akan mendiaminya selama-lamanya.”–Mazmur 37:29.

Apakah Allah Berubah Pikiran?

30 September 2009

Mengenai Allah, Alkitab berkata, “Pada dia tidak ada perubahan karena perputaran bayang-bayang.” Bahkan, Allah sendiri berkata, “Akulah Yehuwa; aku belum berubah.” (Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6) Alangkah berbedanya Allah Yehuwa dibanding pribadi-pribadi yang susah disenangkan dan yang tidak dapat dipercaya karena terus berubah pikiran!

Namun ada pembaca Alkitab yang bertanya-tanya apakah Allah telah berubah pikiran. Sebagai contoh, Allah Yehuwa pernah memberi orang Kristen kuasa untuk melakukan mukjizat, tetapi sekarang tidak lagi. Di zaman lampau, Allah mentoleransi poligami, tetapi sekarang tidak lagi. Di bawah hukum musa, Yehuwa mengharuskan hari Sabat dipelihara, tetapi sekarang tidak lagi. Bukankah contoh-contoh tersebut memperlihatkan bahwa Allah telah berubah?

Pertama-tama, kita dapat yakin bahwa Allah tidak pernah mengubah standar kasih dan keadilan-Nya. Demkian juga, “maksud-tujuan kekal-Nya” untuk memberkati umat manusia melalui Kerajaan-Nya tidak pernah berubah. (Efesus 3:11) Meskipun begitu, seperti Anda mungkin berubah pikiran terhadap seseorang yang perilakunya terus-menerus menjengkelkan Anda, Yehuwa pun mengubah cara-Nya menanggapi situasi-situasi yang berubah.

Allah juga mengubah petunjuk bagi umat-Nya sesuai dengan situasi dan kebutuhan mereka. Hal ini tentu tidak mengherankan kita. Pertimbangkan apa yang akan dilakukan oleh seorang pemandu tur yang berpengalaman sewaktu ia melihat ada bahaya di depan. Ia akan menyuruh kelompoknya untuk mengambil jalan lain agar terhindar dari bahaya. Namun, itu tidak berarti bahwa dia telah mengubah pikirannya mengenai tujuan perjalanan mereka, bukan? Karena itu, mari kita ulas tiga contoh yang disebutkan di atas, yang membingungkan bagi beberapa orang.

Mengapa Mukjizat Tidak Ada Lagi?
Mengapa Allah memberikan kuasa mukjizat kepada beberapa orang Kristen pada abad pertama? Mungkin anda masih ingat bahwa sewaktu Israel masih menjadi umat pilihan, Allah sering menunjukkan melalui mukjizat bahwa Ia menyertai mereka. Melalui Musa, Allah menunjukkan kuasa-Nya yang dahsyat dalam membebaskan orang Israel dari Mesir dan membimbing mereka melewati padang belantara ke Tanah Perjanjian. Sungguh disesalkan, bangsa Israel berulang kali tidak menaruh iman kepada-Nya. Pada waktu Yehuwa akhirnya menolak Israel dan mendirikan sidang jemaat Kristen, Ia memberikan kuasa mukjizat kepada rasul-rasul dan orang-orang lain. Misalnya, rasul Petrus dan rasul Yohanes menyembuhkan orang yang lumpuh sejak lahir, dan Paulus membangkitkan orang mati. (Kisah 3:2-8; 20:9-11) Berbagai mukjizat yang mereka lakukan telah membantu berdirinya Kekristenan di banyak negeri. Kalau begitu, mengapa mukjizat dihentikan?

Rasul Paulus menjelaskan dengan sebuah perumpamaan, “Sewaktu aku kanak-kanak, aku berbicara seperti kanak-kanak, berpikir seperti kanaka-kanak, bernalar seperti kanak-kanak; namun setelah aku menjadi pria dewasa aku membuang sifat kanak-kanak.” (1 Korintus 13:11) Sama seperti orang tua yang memperlakukan anak kecil dengan cara yang berbeda dari anak yang sudah dewasa, demikian juga cara Yehuwa berurusan dengan sidang jemaat Kristen, berubah karena mereka bukan “kanak-kanak” lagi. Rasul Paulus menjelaskan bahwa beberapa karunia mukjizat, seperti karunia berbicara dalam bahasa-bahasa asing atau karunia untuk bernubuat, akan “ditiadakan”.–1 Korintus 13:8.

Mengapa Poligami Diperbolehkan?
Yesus menunjukkan bahwa Allah menetapkan standar untuk perkawinan sewaktu Ia berkata kepada pasangan manusia pertama, “Seorang pria akan meninggalkan bapaknya dan ibunya dan akan berpaut pada istrinya, dan keduanya akan menjadi satu daging.” (Matius 19:5) Perkawinan adalah ikatan yang langgeng antara dua insan. Namun, pada waktu Allah mengorganisasi orang Israel menjadi sebuah bangsa dan memberikan Hukum Taurat kepada mereka, poligami telah menjadi praktek yang umum. Jadi, walaupun Allah tidak memprakarsai atau mendukung poligami, Ia menyediakan hukum untuk mengaturnya. Sewaktu sidang Kristen dibentuk, Firman Allah dengan jelas melarang poligami.–1 Timotius 3:2.

Allah Yehuwa menoleransi hal-hal tertentu hingga tiba waktunya untuk mengoreksinya. (Ibrani 9:22-24) Yesus menunjukkan bahwa Yehuwa untuk sementara telah menoleransi kebiasaan perkawinan yang tidak patut sebagai suatu “kelonggaran” yang dibuat mengingat “kedegilan hati” bansa Israel.–Matius 19:8; Amsal 4:18.

Mengapa Sabat Bersifat Sementara?
Allah menetapkan Sabat mingguan setelah orang Israel dibebaskan dari Mesir. Belakangan, Ia membuatnya menjadi bagian dari Hukum nasional mereka. (Keluaran 16:22-30; 20:8-10) Rasul Paulus menjelaskan bahwa Yesus mempersembahkan dirinya sebagai korban  dan “meniadakan . . . Hukum berupa perintah-perntah dalam bentuk ketetapan-ketetapan dan “menghapus dokumen yang ditulis dengan tangan”. (Efesus 2:15; Kolose 2:14) Di antara hal-hal yang “ditiadakan” dan “dihapus” adalah hukum Sabat, karena Alkitab selanjutnya mengatakan, “Karena itu, jangan biarkan seorang pun menghakimi kamu dalam hal makan dan minum atau berkenaan dengan suatu perayaan atau perayaan bulan baru atau sabat.” (Kolose 2:16) Kalau begitu, mengapa dahulu Allah memberikan Hukum Taurat, termasuk Sabat?

Rasul Paulus menulis, “Hukum telah menjadi pembimbing kita yang menuntun kepada Kristus.” Lalu, ia menambahkan, “Setelah iman itu tiba, kita tidak lagi berada di bawah pembimbing.” (Galatia 3:24, 25) Allah tidak mengubah pikiran-Nya tetapi sekadar menggunakan Sabat sebagai pengaturan sementara untuk mengajar bangsa itu agar mereka secara teratur menyisihkan waktu untuk merenungkan hal-hal rohani. Meskipun hukum Sabat bersifat sementara, hal itu menunjuk ke masa manakala umat manusia akan mendapatkan istirahat abadi dari segala penderitaan fisik dan rohani.–Ibrani 4:10; Penyingkapan [Wahyu] 21:1-4.

Allah yang Dapat Dipercaya dan Pengasih
Contoh-contoh Alkitab yang disebutkan di atas memperlihatkan bahwa Allah Yehuwa memang memberikan berbagai arahan dan petunjuk pada masa yang berlainan. Tetapi, itu tidak berarti bahwa Ia telah berubah pikiran. Sebaliknya, Ia bertindak sesuai dengan kebutuhan umat-Nya dalam berbagai situasi, dan Ia melakukannya demi manfaat mereka. Demikian juga halnya dewasa ini.

Karena Yehuwa tidak mengubah standar-Nya, kita selalu dapat mengetahui apa yang harus kita lakukan untuk menyenangkan Dia. Selain itu, kita dapat yakin bahwa segala sesuatu yang Alah janjikan akan terwujud. Yehuwa mengatakan, “Segala sesuatu yang aku sukai akan kulakukan . . . Aku telah membentuknya, aku juga melakukannya.”–Yesaya 46:10, 11.

Pemimpin Agama dan Kaum Awam, Patutkah Dibedakan?

28 September 2009

Pendeta, Pendeta yang Mulia, Evangelis, Romo, Pastor, Rabi, Ustadz–inilah beberapa gelar dalam berbagai agama yang membedakan golongan pemimpin dengan kaum awam. Golongan pemimpin dan kaum awam sudah biasa dipisahkan dalam banyak agama, namun apakah itu pengaturan dari Allah atau tradisi manusia? Yang lebih penting, apakah itu diperkenan Allah?

“Dalam Perjanjian Baru dan pada zaman para rasul abad pertama tidak pernah disebutkan adanya golongan pemimpin agama atau kaum awam,” tulis profesor teologi Cletus Wesels. Encyclopedia of Christianity menyatakan, “Secara bertahap timbul pembedaan golongan pemimpin sebagai pemegang jabatan dengan anggota lainnya sebagai kaum awam . . . Anggota gereja ‘biasa’ sekarang dianggap sebagai kelompok yang tidak tahu apa-apa.” Perbedaan itu semakin mencolok selama abad ketiga Masehi–lebih dari dua ratus tahun setelah Yesus Kristus hibup di bumi!

Kalau pembedaan golongan pemimpin dengan kaum awam itu tidak sesuai dengan model yang ditetapkan oleh rasul-rasul Yesus dan orang Kristen lainnya pada masa awal, apakah hal itu memang salah? Menurut Alkitab, ya. Pikirkan alasannya.

“Kamu Semua Adalah Saudara”
Menurut Firman Allah, semua orang Kristen melayani sebagai pelayan Allah dan tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. (2 Korintus 3:5, 6) Orang Kristen masa awal “berkukuh bahwa tidak boleh ada pembedaan golongan” di antara mereka, kata penulis masalah keagamaan Alexandre Faivre. Sikap “tidak boleh ada pembedaan golongan” sesuai dengan kata-kata Yesus kepada para pengikutnya, “Kamu semua adalah saudara.”–Matius 23:8.

Memang, orang yang lebih matang secara rohani melayani sebagai pengawas, termasuk menjadi gembala dan guru. (Kisah 20:28) Akan tetapi, pria-pria ini bukan pemimpin agama bayaran. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja biasa–suami dan ayah. Selain itu, mereka memenuhi syarat untuk melayani sebagai pengawas, bukan karena mengikuti sekolah tinggi agama, melainkan karena dengan rajin mempelajari Firman Allah dan memupuk sifat-sifat rohani yang Allah tuntut. Sifat-sifat ini mencakup “bersahaja dalam kebiasaan, berpikiran sehat, tertib, suka menerima tamu, cakap mengajar, . . . bersikap masuk akal, tidak suka berkelahi, bukan pencinta uang, pria yang memimpin rumah tangganya sendiri dengan cara yang baik”.–1 Timotius 3:1-7.

Mengapa Bijaksana Untuk Berpaut Pada Alkitab
“Jangan melampaui perkara-perkara yang tertulis,” kata Alkitab. (1 Korintus 4:6) Sungguh menyedihkan, jika perintah terilham ini diabaikan, orang akan menderita kerugian rohani, dan itulah yang terjadi akibat pengaturan golongan pemimpin agama dan kaum awam. Mengapa demikian? Pertimbangkan enam pokok berikut.

  1. Pemisahan golongan pemimpin agama menyiratkan bahwa seseorang harus mendapat  panggilan khusus untuk menjadi pelayan Allah. Namun, Alkitab mengatakan bahwa semua orang Kristen sejati hendaknya melayani Allah dan memuji nama-Nya. (Roma 10:9, 10) Sehubungan dengan melayani di dalam sidang, pria-pria Kristen biasanya dianjurkan untuk berupaya  meraih hak istimewa itu, dan itulah yang umum di kalangan Saksi-Saksi Yehuwa.–1 Timotius 3:1.
  2. Dengan adanya pembedaan tersebut, para pemimpin agama ditinggikan, terbukti dari gelar-gelar keagamaan yang bersifat menyanjung. Namun, Yesus mengatakan, “Dia yang bertingkah laku sebagai pribadi yang lebih kecil di antara kamu semua, dialah yang besar.” (Lukas 9:48) Sesuai dengan semangat kerendahan hati itu, ia memberi tahu para pengikutnya untuk tidak memakai gelar-gelar keagamaan.–Matius 21:8-12.
  3. Dengan adanya golongan pemimpin agama bayaran, kaum awam bisa jadi harus menanggung beban keuangan yang berat, terutama bila pemimpin agamanya bergaya hidup mewah. Sebaliknya, para pengawas Kristen memenuhi kebutuhan finansial mereka sendiri dengan bekerja sekuler, dengan demikian menjadi teladan bagi orang lain.–Kisah 18:1-3; 20:33, 34; 2 Tesalonika 3:7-10. (Pada abad pertama, beberapa pengawas keliling kadang-kadang “hidup dari kabar baik itu” dengan menerima kemurahan hati dan sumbangan yang diberkan secara sukarela)
  4. Karena seorang pemimpin agama mungkin memperoleh tunjangan finansial dari jemaatnya, bisa jadi ia tergoda untuk mengencerkan berita Alkitab demi menyenangkan hati mereka. Alkitab memang menubuatkan bahwa hal itu akan terjadi. “Akan ada suatu jangka waktu ketika mereka tidak dapat menerima ajaran yang sehat, tetapi sesuai dengan keinginan mereka sendiri, mereka akan mengumpulkan guru-guru bagi diri mereka untuk menggelitik telinga mereka.”–2 Timotius 4:3.
  5. Dengan adanya pembedaan tersebut, kaum awam cenderung menyerahkan soal ibadat kepada pemimpin agama, sedangkan mereka tinggal duduk saja di gereja setiap minggu. Padahal, semua orang Kristen harus sadar akan kebutuhan rohani mereka dengan rajin belajar Alkitab.–Matius 4:4; 5:3.
  6. Jika kaum awam tiadk memiliki pengetahuan Alkitab, mereka bisa mudah disesatkan bahkan dimanfaatkan oleh para pendeta. Sejarah telah membuktikan hal itu.–Kisah 20:29, 30. (Contohnya antara lain penjualan indulgensi, Inkuisisi Katolik, dan bahkan pembakaran Alkitab oleh pemimpin agama yang tidak menginginkan Firman Allah ada di tangan kawanan mereka)

Agar dapat berpaut erat pada pola yang ditetapkan dalam Alkitab, Saksi-Saksi Yehuwa tidak memiliki golongan pemimpin agama, tetapi memiliki gembala dan guru rohani yang tidak dibayar, yang rela melayani kawanan domba Allah. Silakan anda lihat sendiri dengan datang ke Balai Kerajaan di daerah anda.

Salahkah Berganti Agama?

25 September 2009

Ketika Avtar mulai mempelajari Alkitab, keluarganya yang beragama Sikh merasa kesal. Ia mengatakan, “Di negeri asalku, kita dikucilkan masyarakat kalau berganti agama. Nama kita saja ada makna agama. Kita bisa dianggap menolak jati diri dan tidak merespek keluarga kalau ganti agama.”

Salahkah berganti agama? Mungkin anda sependapat dengan keluarga Avtar. Anda boleh jadi merasa bahwa agama anda berkaitan erat dengan riwayat serta budaya keluarga, dan semestinya tidak boleh diubah.

Menghormati keluarga merupakan hal yang penting. Alkitab mengatakan, “Dengarkanlah bapakmu yang telah menyebabkan engkau lahir.” (Amsal 23:22) Tetapi, yang lebih penting adalah mencari tahu kebenaran tentang Pencipta kita dan maksud tujuan-Nya. (Yesaya 55:6) Apakah hal itu mungkin? Jika demikian, seberapa pentingkah upaya itu bagi anda?

Mencari Kebenaran Agama
Agama-agama dunia mengajarkan gagasan-gagasan yang saling bertentangan. Secara masuk akal, tidak mungkin semua ajaran itu benar. Alhasil, pasti ada banyak orang yang seperti dikatakan alkitab “mempunyai gairah untuk Allah; tetapi tidak menurut pengetahuan yang saksama”. (Roma 10:12) Namun, seperti dicatat di 1 Timotius 2:4, rasul Paulus mengatakan bahwa Allah “menghendaki agar segala macam orang . . . memperoleh pengetahuan yang saksama tentang kebenaran”. Bagaimana pengetahuan yang saksama itu bisa diperoleh?

Perhatikan alasan-alasan untuk memeriksa Alkitab. Paulus, penulis Alkitab terilham, menyatakan, “Segenap Tulisan Kudus diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar.” (2 Timotius 3:16) Sebagai bagian dari upaya anda mencari kebenaran, periksalah bukti bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar. Selidikilah hikmatnya yang tak tertandingi, sejarahnya yang akurat, dan nubuatnya yang tergenap.

Sebaliknya dari menyatakan bahwa semua agama menuju kepada Allah, Alkitab memberi tahu pembacanya agar tidak mempercayai segala sesuatu yang mereka dengar, tetapi ‘menguji pernyataan-pernyataan terilham untuk melihat apakah itu berasal dari Allah’. (1 Yohanes 4:1) Sebagai contoh, ajaran apa pun yang benar-benar bersumber dari Allah harus selaras dengan kepribadian-Nya, termasuk sifat utama-Nya, yaitu kasih.–1 Yohanes 4:8.

Alkitab meyakinkan kita bahwa Allah ingin kita “benar-benar menemukan dia”. (Kisah 17:26, 27) Karena Pencipta kita ingin agar kita mencari kebenaran, tidaklah salah untuk bertindak selaras dengan bukti yang kita temukan–sekalipun ini berarti ganti agama. Tetapi, bagaimana dengan problem yang mungkin muncul?

Sewaktu seseorang mengubah kepercayaannya, ia mungkin memutuskan untuk tidak lagi ikut dalam ritual atau hari raya keagamaan tertentu. Tidak heran, ini bisa membuat anggota keluarga tidak senang. Yesus mengakui hal ini. Ia memberi tahu para pengikutnya, “Aku datang untuk menyebabkan perpecahan, seorang pria melawan bapaknya, dan anak perempuan melawan ibunya, dan seorang istri yang masih muda melawan ibu mertuanya.” (Matius 10:35) Apakah Yesus memaksudkan bahwa ajaran-ajaran Alkitab dirancang untuk menjadi penyebab pertengkaran? Tidak. Ia sekadar mengantisipasi apa yang bisa saja terjadi jika para anggota keluarga memberkan tanggapan negatif terhadap orang yang mengambil pendirian teguh demi kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaan mereka.

Apakah konflik keluarga sebaiknya dihindari apa pun keadaannya? Alkitab mengajarkan bahwa anak-anak hendaknya taat kepada orang tua dan istri hendaknya tunduk kepada suami. (Efesus 5:22; 6:1) Namun, Alkitab juga merintahkan orang-orang yang mengasihi Allah untuk “menaati Allah sebagai penguasa sebaliknya daripada manusia”. (Kisah 5:29) Jadi, adakalanya, keloyalan kepada Allah mungkin menyebabkan anda membuat keputusan yang tidak disukai oleh beberapa anggota keluarga.

Meskipun Alkitab membuat perbedaan yang jelas antara ajaran yang benar dan yang palsu, Allah memberi setiap orang kebebasan untuk memilih caranya ia memberikan tanggapan. (Ulangan 30:19, 20) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk beribadat menurut cara yang tidak ia setujui atau diharuskan untuk memilih antara kepercayaannya dan keluarganya. Apakah pelajaran Alkitab menimbulkan perpecahan dalam keluarga? Tidak. Malah, Alkitab menganjurkan suami dan istri yang berbeda agama untuk tetap tinggal bersama sebagai keluarga.–1 Korintus 7:12, 13.

Mengatasi Rasa Takut
Anda mungkin takut akan tanggapan masyarakat jika anda belajar Alkitab dengan Saksi-Saksi Yehuwa. Mariamma mengatakan, “Keluarga saya khawatir jangan-jangan saya tidak bisa mendapatkan suami yang cocok yang bisa menafkahi saya. Maka, mereka menentang saya belajar Alkitab.” Mariamma menaruh kepercayaannya kepada Allah Yehuwa dan terus belajar. (Mazmur 37:3, 4) Anda pun bisa melakukan hal yang sama.

Ketimbang takut akan akibatnya, pikirkan manfaatnya. Berita Alkitab mengubah kehidupan dan kepribadian menjadi lebih baik. Orang-orang belajar memperlihatkan kasih yang tidak mementingkan diri kepada keluarga mereka. Kebiasaan buruk, seperti kekerasan verbal dan fisik serta penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, bisa diatasi. (2 Korintus 7:1) Alkitab menganjurkan orang-orang untuk mengembangkan sifat-sifat yang baik seperti keloyalan, kejujuran, dan kerajinan. (Amsal 31:10-31; Efesus 4:24, 28) Pelajarilah Alkitab dan nikmatilah manfaat menerapkan ajarannya dalam kehidupan anda. Maka orang lain akan melihat betapa Alkitab dapat mengubah anda menjadi pribadi yang jauh lebih baik.